Kompas.tv, Kami duduk bersama mereka—para petani yang sawahnya pernah dijanjikan irigasi, para ibu yang pernah menunggu bantuan yang tak kunjung datang, dan para guru honorer yang sudah lama berhenti berharap pada pengangkatan. “Kami sudah terlalu sering dijanjikan,” kata seorang bapak tua sambil menatap jalan berlubang di depan rumahnya. Tapi anehnya, meski kepercayaan pada janji telah retak, harapan itu tak mati.
Yang Bertahan Bukan Karena Janji, Tapi Karena Cinta
Mereka terus bekerja. Membangun pagar sekolah sendiri. Menambal jalan pakai uang kas kampung. Mengajar meski tanpa gaji tetap. Mereka tak lagi menunggu perubahan datang dari atas. Mereka mulai dari bawah—dari dapur, dari ladang, dari kelas tanpa papan tulis. Karena yang membuat mereka terus berjalan bukanlah pidato, tapi cinta yang sederhana: pada tanah, pada anak, pada masa depan.
Hari Esok yang Mereka Ciptakan Sendiri
“Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?” tanya seorang ibu sambil menyapu halaman madrasah yang ia rawat sukarela. Di banyak tempat, kami temukan semangat yang tidak digerakkan oleh kebijakan, tapi oleh keyakinan. Hari esok bagi mereka bukan sesuatu yang dijanjikan, tapi sesuatu yang dibangun sendiri, pelan-pelan, dengan tangan yang sudah terlalu sering diabaikan.
Kami Datang untuk Menyaksikan, dan Menyampaikan
Kami tak membawa solusi, dan mereka tak minta diselamatkan. Mereka hanya ingin dilihat, didengar, dicatat. Karena meski janji tak lagi mereka percayai, mereka tetap layak mendapat perhatian. Dan tugas kami bukan menilai, tapi menyampaikan. Bahwa di balik keraguan pada janji, ada keyakinan yang tumbuh dari tanah sendiri—tentang hari esok yang tetap mereka perjuangkan, meski tanpa tepuk tangan.